Jumat, 19 Juli 2013

Hakikat Pemerolehan Bahasa Anak

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Anak – anak belajar berkomunikasi dengan orang lain lewat berbagai cara. Meskipun cara anak yang satu dengan yang lain berbeda, ada hal – hal yang umum terjadi pada hampir setiap anak. Pengetahuan tentang hakikat perkembangan bahasa anak, perkembangan bahasa lisan dan tulis yang terjadi pada mereka, dan perbedaan individual dalam pemerolehan bahasa sangat penting bagi pelaksanaan pembelajaran bahasa anak, khususnya pada waktu mereka belajar membaca dan menulis permulaan. Itulah sebabnya calon guru sekolah dasar perlu menguasai berbagai konsep yang terkait dengan perkembangan dan pemerolehan bahasa anak.

B.       Rumusan Masalah
Apakah  hakikat pemerolehan bahasa anak?
Apa saja ragam pemerolehan bahsa anak?
Bagaimana strategi pemerolehan bahasa anak?
Apakah hakikat perkembangan bahasa anak?
Apa saja tahap – tahap perkembangan bahasa anak?


C.      Tujuan
Menjelaskan hakikat pemerolehan bahsa anak.
Ragam pemerolehan bahasa anak.
Strategi pemerolehan bahasa anak.
Menjelaskan hakikat perkembangan bahasa anak.
Menjelaskan tahap-tahap perkembangan bahsa anak.






BAB II
PEMBAHASAN

A.      Hakikat Pemerolehan Bahasa Anak
Pemerolehan bahasa anak melibatkan dua keterampilan, yaitu kemampuan untuk menghasilkan tuturan secara spontan dan kemampuan memahami tuturan orang lain. Jika dikaitkan denga hal itu, maka yang dimaksud dengan pemerolehan bahasa adalah proses pemilikan kemampuan berbahasa, baik berupa pemahaman atau pun pengungkapan, secara alami, tanpa melalui kegiatan pembelajaran formal (Tarigan dkk., 1998). Selain pendapat tersebut, Kiparsky dalam Tarigan (1988) mengatakan bahwa pemerolehan bahasa adalah suatu proses yang digunakan oleh anak-anak untuk menyesuaikan serangkaian hipotesis dengan ucapan orang tua sampai dapat memilih kaidah tata bahasa yang paling baik dan paling sederhana dari bahasa bersangkutan. Proses pemerolehan adalah proses bawah  sadar. Bahasa tidak disadari dan tidak dipengaruhi oleh pengajaran yangsecara eksplisit tentang sistem kaidah yang ada di dalam bahasa kedua. Berbeda dengan proses pembelajaran, adalah proses yang dilakukan secara sengaja atau secara sadar dilakukan oleh pembelajar di dalam menguasai bahasa.
Adapun karakteristik pemerolehan bahasa menurut Tarigan dkk. (1998) adalah:
1.         berlangsung dalam situasi informal, anak-anak belajar bahasa tanpa beban, dan di luar  sekolah;
2.         pemilikan bahasa tidak melalui pembelajaran formal di lembaga-lembaga pendidikan seperti sekolah atau kursus;
3.         dilakukan tanpa sadar atau secara spontan; dan
4.         dialami langsung oleh anak dan terjadi dalam konteks berbahasa yang bermakna bagi anak.

Posisi bahasa Indonesia dalam pemerolehan bahasa bagi anak Indonesia akan ditemukan bahwa ada anak yang menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama dan ada pula menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua. Anak yang menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama, bahasa pertama yang dikenal dan dikuasai adalah bahasa Indonesia. Bahasa Indonesialah yang pertama-tama dijadikan sebagai sarana komunikasi verbal sejak dia bayi. Anak yang bahasa pertamanya bahasa Indonesia banyak dijumpai sekarang ini, terutama pada keluarga yang tinggal di kota. Penyebabnya sebagai berikut :
1.         Perkawinan antarpenutur bahasa yang berbeda. Masing-masing pihak tidak saling memahami  bahasa daerah pasangannya.
2.         Perkawinan antar penutur bahasa daerah yang sama dengan situasi berikut ini :
·           Lingkungan sosial sekitar keluarga menggunakan bahasa Indonesia sebagai media  komunikasi.
·           Lingkungan masyarakat sekitar menggunkan bahasa daerah yang tidak dikuasai oleh keluaga itu.
·           Lingkungan menggunkan bahasa daerah yang sama dengan bahasa keluarga itu, tetapi  karena pertimbangan praktis, bahasa yang digunakan dalam keluarga itu bahasa Indonesia (Tarigan dkk., 1998).

Selanjutnya Tarigan dkk. (1998) mengungkapkan bahwa anak-anak yang dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga dan masyarakat yang menggunkan bahasa daerah sebagai media komunikasi kesehariannya, kemungkinan besar anak itu bahasa pertamanya adalah bahasa daerah dan bahasa Indonesia sebagai bahasa keduanya. Sekalipun anak itu telah mengenal bahasa Indonesia melalui berbagai media (misalanya radio dan televisi), tetapi bahasa Indonesia yang dikuasainya baru benar-benar digunakan ketika telah bersekolah.

B.       Ragam Pemerolehan Bahasa Anak
Ragam atau jenis pemerolehan bahasa anak menurut Tarigan (1988) dapat ditinjau dari berbagai sudut pandangan, antara lain:
1.         berdasarkan bentuk,
2.         berdasarkan urutan,
3.         berdasarkan jumlah,
4.         berdasarkan media,
5.         berdasarkan keaslian.


Ditinjau dari segi bentuk, dikenal ragam :
1.         pemerolehan bahasa pertama,
2.         pemerolehan bahasa kedua,
3.         pemerolehan-ulang.

Ditinjau dari segi urutan, dikenal ragam :
1.         pemerolehan bahasa pertama,
2.         pemerolehan bahasa kedua

Ditinjau dari segi jumlah, dikenal ragam :
1.         pemerolehan satu bahasa,
2.         pemerolehan dua bahasa.

Ditinjau dari segi media, dikenal ragam :
1.         pemerolehan bahasa lisan,
2.         pemerolehan bahasa tulis.

Ditinjau dari segi keaslian atau keasingan, dikenal ragam :
1.         pemerolehan bahasa asli,
2.         pemerolehan bahasa asing.

Apabila ditinjau dari segi keserentakan atau keberurutan, pada dasarnya pemerolehan dua bahasa oleh seorang anak dapat terjadi dalam dua cara, yaitu :
1.         pemerolehan bahasa secara serentak, dan
2.         pemerolehan bahasa secara berurut.

Pemerolehan serempak dua bahasa terjadi pada anak yang dibesarkan dalam masyarakat bilingual (menggunakan dua bahasa dalam berkomunikasi) atau dalam masyarakat multilingual (menggunakan lebih dari dua bahasa). Anak mengenal, mempelajari, dan menguasai kedua bahasa secara bersamaan. Sedangkan pemerolehan berurut dua bahasa terjadi bila anak menguasai dua bahasa dalam rentang waktu yang relatif berjauhan (Tarigan, 1988 dan Tarigan, dkk., 1998).
C.      Strategi Pemerolehan Bahasa Anak
Landasan atau dasar kognitif pemerolehan bahasa sangat mudah  sekali terlihat dalam tiga hal, yaitu:
1.         perkembangan semantik sang anak,
2.         perkembangan sintaksis permulaan, dan
3.         penggunaan aktif sang anak akan sejenis siasat belajar.

Anak-anak pada umumnya cenderung lebih cepat belajar dan menguasai suatu bahasa, terutama bahasa ibunya. Sejak lahir seorang bayi sudah memperoduksi bunyi yaitu mengeram atau menangis. Bunyi-bunyi itu menggambarkan suasana kebutuhan dalam upaya merespon terhadap lingkungan internal dan eksternalnya. Sejalan dengan pertumbuhan usia bayi tersebut, maka bunyi-bunyi yang diproduksinya itu mulai ada kecenderungan mempunyai kemiripan dengan bahasa (kata-kata) orang dewasa, misalanya “mama”. Kata “ma-ma” (biasa diistilahkan dalam kajian bahasa sebagai “babling”) yang dituturkan oleh si bayi, diprediksikan sebagai langkah awal dari perkembangan fonologi anak untuk pemerolehan bahasa. Para behavioris berpandangan bahwa setiap orang terdorong (apakah dorongan positif atau negatif) untuk melakukan sesuatu. Bahasa itu merupakan ciri dan milik manusia, merupakan pembeda dari makhluk ciptaan lainnya. Bahasa itu bertemali dengan beraneka sistem pada akal manusia dan sekaligus dibentuk oleh sistem yang ada itu.
Anak memperoleh kemampuan berbahasa lisan melalui peniruan dan pengalaman langsung. Apakah  hanya itu? Menurut Tarigan dkk. (1998),  selain meniru dan mengalami langsung,  anak memperoleh kemampuan berbahasa dengan cara mengingat, bermain, dan penyederhanaan. Mengingat, memainkan peranan penting dalam belajar bahasa anak atau belajar apapun. Setiap pengalaman indrawi yang dilalui anak, direkam dalam benaknya. Pada tahap awal belajar bahasa, anak mulai membangun pengetahuan tentang kombinasi bunyi-bunyi tertentu yang menyertai dan merujuk pada sesuatu yang dia alami. Ingatan ini akan semakin kuat, terutama bila penyebutan akan benda atau peristiwa tertentu terjadi berulang-ulang. Dengan cara ini, anak akan mengingat kata-kata tentang sesuatu sekaligus mengingat pula cara mengucapnya.
Kegiatan bermain pun memegang peran penting dalam pemerolehan bahasa anak. Dalam kegiatan bermain, anak-anak sering dan senang bermain peran yaitu memerankan perilaku orang dewasa atau perilaku orang lain di sekelilingnya. Tampa mereka sadari, dalam kegiatan bermain tersebut mereka berlatih berbicara dan menyimak. Selanjutnya, cara belajar dengan penyederhanaan, maksudnya adalah ketika berbicara anak-anak pada awalnya cenderung menyederhanakan model tuturan orang dewasa. Ada beberapa fonem dan bahkan kata yang dihilangkan pada saat bertutur. Walaupun dalam bertutur, anak-anak hanya menggunakan satu kata tetapi memiliki cakupan makna yang luas (Tarigan dkk., 1998).
Ada dua persyaratan dasar yang memungkinkan anak dapat memperoleh kemampuan berbahasa, yaitu potensi faktor biologis yang dimiliki sang anak, serta dukungan sosial yang diperolehnya. Selain itu, ada beberapa faktor penunjang yang merupakan penjabaran dari kedua hal di atas yang dapat mempengaruhi tingkat kemampuan bahasa yang diperoleh anak.
Faktor-faktor yang dimaksud adalah seperti berikut:
1.         faktor biologis;
2.         faktor lingkungan sosial;
3.         faktor intelegensi; dan
4.         faktor motivasi (Tarigan dkk., 1998)

Selain pendapat di atas, Ellies dkk. (1989) mengemukakan bahwa anak belajar berbicara sesuai dengan kebutuhannya. Sekiranya ia dapat memperoleh apa yang diinginkannya tampa bersusah payah untuk memintanya, maka ia tidak merasa perlu untuk berusaha belajar berbahasa. Jadi pada mulanya motif anak belajar bahasa ialah agar dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, keinginan-keinginannya, dan menguasai lingkungannya sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya. Dengan demikian, kebutuhan utama anak-anak sehingga belajar berbahasa adalah :
1.         keinginan untuk memperoleh informasi tentang lingkungannya, kemudian mengenai dirinya sendiri dan kawan-kawannya;
2.         memberi perintah dan menyatakan kemauan;
3.         pergaulan sosial dengan orang lain; dan
4.         menyatakan pendapat dan ide-idenya.

D.      Perkembangan BAHASA ANAK
Hakikat Perkembangan Bahasa Anak
Darjowidjojo (Tarigan dkk., 1998) mengungkapkan bahwa pemerolehan bahasa anak itu tidaklah tiba-tiba atau sekaligus, tetapi bertahap. Kemajuan kemampuan berbahasa mereka berjalan seiring dengan perkembangan fisik, mental, intelektual, dan sosialnya. Oleh karena itu, perkembangan bahasa anak ditandai oleh keseimbangan dinamis atau suatu rangkaian kesatuan yang bergerak dari bunyi-bunyi atau ucapan yang sederhana menuju tuturan yang lebih kompleks. Tangisan, bunyi-bunyi atau ucapan yang sederhana tak bermakna, dan celotehan bayi merupakan jembatan yang mefasilitasi alur perkembangan bahasa anak menuju kemampuan berbahasa yang lebih sempurna.

Tahap-tahap Perkembangan Bahasa Anak
Sudah diuraikan sebelumnya bahwa kemampuan berbahasa anak-anak tidaklah diperoleh secara tiba-tiba atau sekaligus, tetapi berkembang secara bertahap. Tahapan perkembangan bahasa anak dapat dibagi atas: (1) tahap pralingustik, (2) tahap satu-kata, (3) tahap dua-kata, dan (4) tahap banyak-kata.
1.         Tahap Pralingustik (0 – 12 bulan)
Sebelum mampu mengucapkan suatu kata, bayi mulai memperoleh bahasa ketika berumur kurang dari satu tahun. Namun pada tahap ini, bunyi-bunyi bahasa yang dihasilkan anak belumlah bermakna. Bunyi-bunyi itu berupa vokal atau konsonan tertentu tetapi tidak mengacu pada kata atau makna tertentu. Untuk itulah sehingga perkembangan bahasa anak pada masa ini disebut tahap pralinguistik (Tarigan, 1988; Tarigan dkk., 1998; Ellies dkk.,1989). Bahkan pada awalnya, bayi hanya mampu mengeluarkan suara yaitu tangisan. Pada umumnya orang mengatakan bahwa bila bayi yang baru lahir menangis, menandakan bahwa bayi tersebut merasa lapar, takut, atau bosan. Sebenarnya tidak hanya itu saja terjadi. Para peneliti perkembangan mengatakan bahwa lingkungan memberikan mereka halangan tentang apa yang dirasakan oleh bayi, bahkan tangisan itu sudah mempunyai nilai komunikatif.
2.         Tahap Satu-Kata (12 – 18 bulan)
Pada masa ini, anak sudah mulai belajar menggunakan satu kata yang memiliki arti yang mewakili keseluruhan idenya. Satu-kata mewakili satu atau bahkan lebih frase atau kalimat.
Contoh:
Ujaran anak Maksud
·           Juju!” (sambil memegang baju) : mau memakai baju atau  ini baju saya
·            “Gi!” (sambil menunjuk keluar) : mau pergi atau keluar
·            “Bum-bum” (sambil menunjuk motor) : itu motor atau saya mau  naik motor
Kata-kata pertama yang lazim diucapkan berhubungan dengan objek-objek nyata atau perbuatan. Kata-kata yang sering diucapkan orang tua sewaktu mengajak bayinya berbicara berpotensi lebih besar menjadi kata pertama yang diucapkan si bayi. Selain itu, kata tersebut mudah bagi dia. Misalnya kata “papa” itu kan konsonan bilabial yang mudah diucapkan. Selain itu, kata-kata tersebut mengandung fonem “a” yang secara artikulasi juga mudah diucapkan (tinggal membuka mulut saja). Memahami makna kata yang diucapkan anak pada masa ini tidaklah mudah. Untuk menafsirkan maksud tuturan anak harus diperhatikan aktivitas anak itu dan unsur-unsur non-linguistik lainnya seperti gerak isyarat, ekspresi, dan benda yang ditunjuk si anak. Mengapa begitu? Menurut Tarigan dkk, (1998).
Ada dua penyebab, yaitu sebagai berikut; Pertama, bahasa anak masih terbatas sehingga belum memungkinkan mengekspresikan ide atau perasaannya secara lengkap. Keterbatasan berbahasanya diganti dengan ekspresi muka, gerak tubuh, atau unsur-unsur nonverbal lainnya. Kedua, apa yang diucapkan anak adalah sesuatu yang paling menarik perhatiannya saja. Sehingga, tampa mengerti konteks ucapan anak, kita akan kesulitan untuk memahami maksud tuturannya. Walaupun memahami makna kata yang diucapkan anak pada masa ini tidaklah mudah, tetapi komunikasi aktif dengan si anak sangat penting dilakukan. Untuk dapat berbicara, anak perlu mengetahui perbendaharaan kata yang akan disimpan di otaknya dan ini bisa didapat ketika orang tua mengajak bicara. Kalau anak jaran diajak berbicara, kata-kata yang dia dapat sangat minim sehingga penguasaan kosa kata anak juga sangat minim. Selain itu, yang perlu diperhatikan dalam menghadapi anak yang memasuki usia ini adalah “jangan memakai bahasa bayi untuk anak-anak, melainkan dengan orang dewasa.” Maksudnya, ucapkanlah dengan bahasa yang seharusnya didengar sehingga si anak juga terpacu untuk berkomunikasi dengan baik.
3.         Tahap dua-kata (18 – 24 bulan)
Pada masa ini, kebanyakan anak sudah mulai mencapai tahap kombinasi dua kata. Kata-kata yang diucapkan ketika masih tahap satu kata dikombinasikan dalam ucapan-ucapan pendek tanpa kata penunjuk, kata depan, atau bentuk-bentuk lain yang sseharusnya digunakan. Anak mulai dapat
mengucapkan “Ma, pelgi”, maksudnya “Mama, saya mau pergi”. Pada tahap dua kata ini anak mulai mengenal berbagai makna kata tetapi belum dapat menggunakan bentuk bahasa yang menunjukkan jumlah, jenis kelamin, dan waktu terjadinya peristiwa. Selain itu, anak belum dapat menggunkan pronomina saya, aku, kamu, dia, mereka, dan sebaginya.
Tahap banyak-kata (3 – 5 tahun)
Pada saat anak mencapai usia 3 tahun, anak semakin kaya dengan perbendaharaan kosakata. Mereka sudah mulai mampu membuat kalimat pertanyaan, penyataan negatif, kalimat majemuk, dan berbagai bentuk kalimat. Terkait dengan itu, Tompkins dan Hoskisson dalam Tarigan dkk. (1998) menyatakan bahwa pada usia 3 – 4 tahun, tuturan anak mulai lebih panjang dan tata bahasanya lebih teratur. Dia tidak lagi menggunakan hanya dua kata, tetapi tiga atau lebih. Pada umur 5 – 6 tahun, bahasa anak telah menyerupai bahasa orang dewasa. Sebagian besar aturan gramatika telah dikuasainya dan pola bahasa serta panjang tuturannya semakin bervariasi. Anak telah mampu menggunkan bahasa dalam berbagai cara untuk berbagai keperluan, termasuk bercanda atau menghibur. Selanjutnya, tidak berbeda jauh dengan tahapan perkembangan bahasa anak seperti yang telah diurakan, Piaget (dalam Nurhadi dan Roekhan, 1990) membagi tahap perkembangan bahasa sebagai berikut :
(a)      Tahap meraban (pralinguistik) pertama pada usia 0,0 – 0,5
(b)     Tahap meraban (pralinguistik) kedua: kata nonsens, pada usia 0,5 – 1,0.
(c)      Tahap linguistik I: holofrastik, kalimat satu kata, pada usia 1,0 – 2,0.
(d)     Tahap linguistik II: kalimat dua kata, pada usia 2,0 – 3,0.
(e)      Tahap linguistik III: pengembangan tata bahasa, pada usia 3,0 – 4,0.
(f)      Tahap linguistik IV: tata bahasa pradewasa, pada usia 4,0 – 5,0.
(g)     Tahap lingistik V: kompetensi penuh, pada usia 5,0.
Seiring dengan perkembangan bahasa sebagaimana yang telah diuraikan, berkembang pula penguasaan anak-anak atas sistem bahasa yang dipelajarinya. Sistem bahasa itu terdiri atas subsistem, yaitu: fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan pragmatik.

Perkembangan Fonologis
Sebelum masuk SD, anak telah menguasai sejumlah fonem/bunyi bahasa, tetapi masih ada beberapa fonem yang masih sulit diucapkan dengan tepat. Menurut Woolfolk (1990) sekitar 10 % anak umur 8 tahun masih mempunyai masalah dengan bunyi s, z, v. Hasil penelitian Budiasih dan Zuhdi (1997) menunjukkan bahwa anak kelas dua dan tiga melakukan  kesalahan pengucapan f, sy, dan ks diucapkan p, s, k. Terkait dengan itu, Tompkins (1995) juga menyatakan bahwa ada sejumlah bunyi bahasa yang belum diperoleh anak sampai menginjak usia kelas awal SD, khususnya bunyi tengah dan akhir, misalnya v, zh, sh,ch. Bahkan pada umur 7 atau 8 tahun anak masih membuat bunyi pengganti pada bunyi konsonan kluster. Kaitannya dengan anak SD di Indonesia diduga pun mengalami kesulitan dalam pengucapan r, z, v, f, kh, sh, sy, x, dan bunyi kluster misalnya str, pr, pada kata struktur dan pragmatik. Di samping itu, anak SD bahkan orang
dewasa kadangkala ada yang kesulitan mengucapkan bunyi kluster pada kata : kompleks, administrasi diucapkan komplek dan adminitrasi. Agar hal itu tidak terjadi, sejak di SD anak perlu dilatih mengucapkan kata-kata tersebut.

Perkembangan Morfologis
Afiksasi bahasa Indonesia merupakan salah aspek morfologi yang kompleks. Hal ini terjadi karena satu kata dapat berubah makna karena proses afiksasinya (prefiks, sufiks, simulfiks) berubah-ubah. Misalnya kata satu dapat berubah menjadi: bersatu, menyatu, kesatu, satuan, satukan, disatukan, persatuan, kesa-tuan, kebersatuan, mempersatukan, dst. Zuhdi dan Budiasih (1997) menyatakan bahwa anak-anak mempelajari morfem mula-mula bersifat hapalan. Hal ini kemudian diikuti dengan membuat simpulan secara kasar tentang bentuk dan makna morfem. Akhirnya anak membentuk kaidah. Proses yang rumit ini dimulai pada priode prasekolah dan terus berlangsung sampai pada masa adolesen. Berdasarkan kerumitan afiksasi tersebut, perkembangan morfologis atau kemampuan menggunakan morfem/afiks anak SD dapat diduga sebagai berikut:
(a)      Anak kelas awal SD telah dapat mengunakan kata berprefiks dan bersufiks seperti melempar dan makanan.
(b)      Anak kelas menengah SD telah dapat mengunakan kata berimbuhan simulfiks/konfiks sederhana seperti menjauhi, disatukan.
(c)      Anak kelas atas SD telah dapat menggunakan kata berimbuhan konfiks yang sudah kompleks misalnya diperdengarkan dan memberlakukan dalam bahasa lisan atau tulisan.

Perkembangan Sintaksis
Brown dan Harlon (dalam Nurhadi dan Roekhan, 1990) berkesimpulan bahwa kalimat awal anak adalah kalimat sederhana, aktif, afirmatif, dan berorientasi berita. Setelah itu, anak baru menguasai kalimat tanya, dan ingkar. Berikutnya kalimat anak mulai diwarnai dengan kalimat elips, baik pada kalimat berita, tanya, maupun ingkar. Sedangkan menurut hasil pengamatan Brown dan Bellugi terhadap percakapan anak, memberi kesimpulan bahwa ada tiga macam cara yang biasa ditempuh dalam mengembangkan kalimat, yaitu: pengembangan, pengurangan, dan peniruan. Kedua peneliti ini sepakat bahwa peniruan merupakan cara pertama yang ditempuh anak, meskipun peniruan yang dilakukan terbatas pada prinsip kalimat yang paling pokok yaitu urutan kata. Cara yang kedua yang ditempuh anak untuk mengembangkan kalimat mereka adalah pengulangan dan pengembangan. Anak mengulang bagian kalimat yang memperoleh tekanan yaitu bagian kalimat kontentif, atau bagian kalimat yang berisi pesan pokok, sedangkan bagian lain dihilangkan secara sistematis. Karena itu, bahasa anak disebut dengan istilah tuturan telegrafis, karena mengandung pengurangan bagian kalimat secara sistematis. Dilihat dari segi frase, menurut Budiasih dan Zuchdi (1997) bahwa frase verba lebih sulit dikuasai oleh anak SD dibanding dengan frase nomina dan frase lainnya. Kesulitan ini mungkin berkaitan dengan perbedaan bentuk kata kerja yang menyatakan arti berbeda. Misalnya ditulis, menuliskan, ditulisi, dan seterusnya.
Dari segi pola kalimat lengkap, anak kelas awal cenderung menggunakan struktur sederhana bila berbicara. Mereka sudah mampu memahami bentuk yang lengkap namun belum dapat memahamai bentuk kompleks seperti kalimat pasif (Wood dalam Crown, 1992). Menurut Emingran siswa kelas atas SD menggunakan struktur yang lebih kompleks dalam menulis daripada dalam berbicara (Tompkins, 1989). Pada umumnya anak SD mengenal bentuk pasif daripada preposisi “oleh” misalnya “Buku itu dibeli oleh Ali.” Dengan demikian kalimat pasif yang tidak disertai kata oleh, mereka menganggapnya bukan kalimat pasif, misalnya “Saya melempar mangga (kalimat aktif) menjadi “Mangga saya lempar (kalimat pasif) bukan “Mangga dilempar oleh saya.” (Salah). Anak biasanya menggunakan kalimat pasif yang subjeknya dari kata ganti/tak dapat dibalik dan kalimat pasif yang subjeknya bukan kata ganti/dapat dibalik secara seimbang. Namun, anak sering mengalami kesulitan dalam membuat kalimat dan menafsirkan makna kalimat pasif yang dapat dibalik (subjeknya bukan kata ganti). Menjelang umur 8 tahun mereka mulai lebih banyak menggunakan kalimat pasif yang tidak dapat dibalik (subjeknya kata ganti). Pada umur 9 tahun, anak mulai banyak menggunakan bentuk pasif yang subjeknya dari kata ganti. Dan pada umur 11-13 tahun mereka banyak menggunakan kalimat yang subjeknya dari kata ganti. Penggunaan kata penghubung juga meningkat pada usia SD. Anak di bawah umur 11 tahun sering menggunakan kata “dan” pada awal kalimat. Pada umur 11-14 tahun, penggunaan “dan” pada awal kalimat mulai jarang muncul. Anak sering mengalami kesulitan penggunaan kata penghubung “karena”: dalam kalimat, seperti “Saya menghadiri pertemuan itu karena diundang”. Anak SD bingung membedakan kata hubung karena, dan, lalu dilihat dari segi urutan waktu kejadiannya. Yakni diundang dahulu baru pergi ke pertemuan. Oleh karena itu kadangkala ada anak TK yang mengucapkan “Saya sakit karena saya tidak masuk sekolah” padahal maksudnya “Saya tidak masuk sekolah karena sakit.”. Pemahaman kata penghubung “karena“ baru mulai berkembang pada umur 7 tahun. Pemahaman yang benar dan konsisten baru terjadi pada umur skitar 10-11 tahun (Budiasih dan Zuchdi, 1997).

Perkembangan Semantik
Selama priode usia sekolah dan dewasa, ada dua jenis penambahan makna kata. Secara horisontal, anak semakin mampu memahami dan dapat menggunakan suatu kata dengan nuansa makna yang agak berbeda secara tepat. Penambahan vertikal berupa penambahan jumlah kata yang dapat dipahami dan digunakan dengan tepat (Owens dalam Budiasih dan Zuchdi, 1997). Menurut Lindfors, perkembangan semantik berlangsung dengan sangat pesat di SD. Kosa kata anak bertambah sekitar 3000 kata per tahun (Tompkins,1989). Sedang Berger menyatakan bahwa antara 2-6 rata-rata anak mempelajari 6 -10 kata per hari. Ini berarti bahwa rata-rata anak umur 6 tahun mempunyai kata 8.000 - 14.000 kata. Dan pada usia 9 - 10 thn. sekitar 5000 kata baru dalam perbendaharaan kosa katanya (Woolfolk, 1990). Merujuk apa yang tercantum dalam Kurikulum 1994, perbendaharaan kata siswa SD diharapkan lebih kurang 6000 kata. Dengan demikian pendapat Berger di atas sangat tinggi. Pendapat yang relatif mendekati  harapan Kurikulum 1994 adalah hasil temuan penelitian Slegers bahwa rata-rata anak masuk kelas awal dengan pengetahuan makna sekitar 2500 kata dan meningkat rata-rata 1000 kata pertahun di kelas awal dan menengah SD dan 2000 kata di kelas atas sehingga perbendaharaan kosa kata siswa berjumlah 8500 di kelas VI (Harris dan Sipay, 1980). Kemampuan anak kelas rendah SD dalam mendefinisikan kata meningkat dengan dua cara. Pertama, secara konseptual yakni dari definisi berdasar pengalaman individu ke makna yang bersifat sosial atau makna yang dibentuk bersama. Kedua, anak bergerak secara sintaksis dari definisi kata-kata lepas ke kalimat yang menyatakan hubungan kompleks (Owens, 1992) Pengetahuan kosa kata mempunyai hubungan dengan kemampuankebahasan secara umum. Anak yang menguasai ba nyak kosa lebih mudah memahami wacana dengan baik. Selama priode usia SD, anak menjadi semakin baik dalam menemukan makna kata berdasarkan konteksnya. Anak usia 5 thn. mendefinisikan kata secara sempit sedang anak berumur 11 tahun membentuk definisi dengan menggabungkan makna-makna yang telah diketahuinya. Dengan demikian definisinya menjadi lebih luas, misalnya kucing ialah binatang yang biasa dipelihara di rumah-rumah penduduk. Menurut Budiasih dan Zuchdi (1997), anak usia SD sudah mampu mengembangkan bahasa figuratif yang  memungkinkan penggunaan bahasa secara kreatif. Bahasa figuratif menggunakan kata secara imajinatif, tidak secara literal atau makna sebenarnya untuk menciptakan kesan emosional. Yang termasuk bahasa figuratif adalah (a) ungkapan misalnya kepala dingin, (b) metafora, misalnya “Suaranya membelah bumi”., (c) kiasan, misalnya “Wajahnya seperti bulan purnama.”,  (d) Pribahasa, misalnya “Menepuk air di dulang, terpecik muka sendiri.”

Perkembangan Pragmatik
Perkembangan pragmatik atau penggunaan bahasa merupakan hal paling penting dibanding perkembangan aspek bahasa lainnya pada usia SD. Hal ini pada usia prasekolah anak belum dilatih menggunakan bahasa secara akurat, sistematis, dan menarik. Berbicara tentang pragmatik ada 7 faktor penentu yang perlu dipahami anak (1) kepada siapa berbicara (2) untuk tujuan apa, (3) dalam konteks apa, (4) dalam situasi apa, (5) dengan jalur apa, (6) melalui media apa, (7) dalam peristiwa apa (Tarigan, 1990). Ke-7 faktor penentu komunikasi tersebut berkaitan erat dengan fungsi (penggunaan) bahasa yang dikemukakan oleh M.A.K Halliday: instrumental, regulator, interaksional, personal, imajinatif, heuristik, dan informatif. Pinnel (1975) dalam penelitiannya tentang penggunaan fungsi bahasa di SD kelas awal menemukan bahwa umumnya anak menggunakan fungsi interaksional (untuk bekomunikasi) dan jarang menggunakan fungsi heuristik (mengunakan bahasa untuk mencari ilmu pengetahuan saat belajar dan berbicara dalam kelompok kecil). Dilihat dari segi perkembangan kemampuan bercerita, anak umur 6 tahun sudah dapat bercerita secara sederhana tentang acara televisi/film yang mereka lihat. Kemampuan ini selanjutnya berkembang secara teratur dan sedikit-demi sedikit. Mereka belajar menghubungkan kejadian tetapi bukan yang mengandung hubungan sebab akibat. Kata penghubung yang digunakan: dan, lalu. Pada usia 7 tahun anak mulai dapat membuat cerita yang ang agak padu. Mereka sudah mulai mengemukakan masalah, rencana mengatasi masalah dan penyelesaian masalah tersebut meskipun belum jelas siapa yang melakukannya. Pada umur 8 tahun anak menggunakan penanda awal dan akhir cerita, misalnya “Akhirnya mereka hidup rukun”. Kemampuan membuat alur cerita yang agak jelas baru mulai diperoleh oleh anak pada usia lebih dari delapan tahun. Pada umur tersebut barulah mereka dapat mengemukakan pelaku yang mengatasi masalah dalam cerita. Anak-anak mulai dapat menarik perhatian pendengar atau pembaca cerita yang mereka buat. Struktur cerita mereka semakin menjadi jelas. Kaitannya dengan gaya bercerita antara anak laki-laki dengan perempuan memiliki perbedaan. Anak perempuan menganggap bahwa peranannya dalam percakapan adalah sebagai fasilitator sehingga mereka menggunakan cara yang tidak langsung dalam meminta persetujuan dan lebih banyak mendengarkan, misalnya “Ibu tidak marah, kan?”. Sedangka anak laki-laki menganggap dirinya sebagai pemberi informasi sehingga cenderung memberitahu. Anak laki-laki biasanya kurang berbicara dan lebih banyak berbuat namun kadangkala bertindak keras dan percakapan digunakannya untuk berjuang agar tidak dikuasai oleh anak lain atau kelompok lain. Sedangkan nak perempuan cenderung banyak bicara dengan pasangan akrabnya, dan saling menceritakan rahasianya, masalah pribadinya dikemukakan kepada teman dan temannya biasanya menyetujui dan dapat memahami masalah tersebut (Owens, 1992).


3 komentar:

  1. lumayan nih bisa dapet makalah yang sudah jadi :D
    uuum....blognya cute2, suka :)

    BalasHapus
  2. terima kasih..ijin buat referensi tulisan

    BalasHapus